Photobucket Photobucket Photobucket

Ngeblues

Ngeblues

Pirates

Pirates

Kau Ku Kejar, Kau Ku Lepaskan

Kamis, 24 Mei 2012


Kau Ku Kejar, Kau Ku Lepaskan ;
Tragedi di balik Drama Eksistensi Manusia
(Tafau’l kepada Søren Aabye Kierkegaard)
Oleh : Taufik Nurrohim[1]        
Prolog :
Regina Olsen – Saya pertama kali melihatnya di Rodams. ...sebelum ayah saya meninggal, saya sudah memutuskan untuk mengejarnya... Tanggal 8 September (1840) saya meninggalkan rumah dengan tekad bulat untuk menyelesaikan masalah ini. Kami bertemu di jalan di luar rumahnya. Ia mengatakan tidak ada orang di rumah. Bodohnya, saya menganggap perkataan itu sebagai undangan ; kesempatan yang saya inginkan. Saya masuk rumah bersamanya. Kami berdiri di ruangan tengah. Ia agak gelisah. Saya memintanya bermain musik seperti  biasa ia lakukan. Ia pun memainkanya, tetapi hal itu tidak menolong saya. Tiba-tiba saya menarik partitur itu dan menutupnya-dengan kasar-melemparkanya ke atas piano, dan berkata, “Oh, persetan dengan musik sekarang! Engkaulah yang saya cari selama ini, engkaulah yang saya dambakan selama dua tahun.” Ia terdiam. Saya pun tidak melakukan apa-apa untuk menarik hatinya ; saya bahkan memperingatkanya mengenai diri saya, mengenai sikap melankoli saya. Tetapi ketika ia berbicara mengenai schiegel (pria yang akhirnya menikah dengan Regina-pen), saya berkata, “ Biarlah hubungan itu menjadi sekedar tanda kurung saja ; bagaimanapun juga, prioritasnya adalah saya.” Ia tetap terdiam. Akhirnya saya pergi karena khawatir jangan-jangan ada orang yang datang dan mendapati kami berdua-duaan, dan ia begitu gelisah. Saya langsung mendatangi Etatsraad Olsen (“konselor Negara” Olsen ayah Regina-pen.) ... takut kunjungan saya itu menimbulkan kesalahpahaman dan bahkan dapat mencemarkan nama baiknya. Ayah Regina tidak mengatakan ya atau tidak, tetapi ia kelihatanya cukup berkehendak, seperti dapat saya lihat. Saya minta diadakan pertemuan : permintaan saya dikabulkan, dan waktunya adalah tanggal 10 sore hari. Saya tidak mengatakan sepatah katapun untuk membujuk Regina. Ia mengatakan, Ya.[2]
Kierkegaard yang bernama lengkap Søren Aabye Kierkegaard lahir di Kopenhagen (Denmark) pada tanggal 5 Mei 1813. Ayahnya adalah seorang pendeta yang tampil saleh dan tergolong sebagai orang yang kaya. Dengan ayahnya, Kierkegaard mempunyai hubungan yang sangat dekat. Mereka sering bermain dan melalui permainan ini Kierkegaard mengaku mendapat modal yang kuat dalam mengembangkan imajinasinya.
Masa kehidupan Kiekegaard adalah masa ketika hampir seluruh orang di Eropa beragama Kristen. Orang menjadi Kristen terutama karena mengikuti arus. Mereka terlahir dalam keluarga Kristen dan di sekolah juga mendapat pelajaran mengenai aturan-aturan Kristen. Mereka menganut agama Kristen tanpa membuat keputusan yang didahului oleh pertimbangan yang matang. Maka masyarakat melakukan ritual agama tanpa secara kritis mempertanyakan kebenarannya.
Namun kehidupan filsuf melankolis ini ternyata sangat menarik, terutama kisah cinta nya dengan seorang gadis cantik yang bernama Regina Olsen. Sebagaimana prolog di atas Kiekegaard mempunyai sifat kerasnya yang sangat menonjol, karena ia ingin sekali segera mendapatkan kejelasan bahwa Regina juga mencintainya dan menerima lamaranya. Layaknya kebanyakan orang, ia tidak senang hidup dalam kebimbangan dan ketidakpastian, apalagi dalam soal yang sangat menentukan masa depanya ini.
Adakah Rasionalitas di balik pengalaman?                      
Jauh di kedalaman relung hatinya semua manusia menginginkan hidup bersama dengan orang yang dicintainya. Melalui kehidupan bersama itu manusia berharap untuk mendapatkan kebahagiaan dan makna hidup mereka. Tak terkecuali, Søren Kierkegaard seorang filsuf melankolis ini. Tetapi, jarang sekali orang secara kritis bertanya apakah ada rasionalitas di balik fenomena eksistensial seperti ‘jatuh cinta’.?
Ilustrasi Drama Eksistensi Manusia :
Sari mencintai seorang lelaki bernama ahmad yang baru dikenalnya seminggu setelah putus dari mantan pacarnya yang bernama fika. Sari merasa  gelisah dan ragu bahwa Ahmad adalah pasanganya yang serasi dan akan memberikanya kebahagiaan di masa depan. Sari pun meragukan bahwa perkawinan mereka adalah sebuah kehendak Tuhan yang sudah digariskan-Nya di surga.
Benarkah demikian? Bagaimana seandainya Sari jauh dalam relung hati jatuh cinta pada seorang fika, seorang laki-laki yang menjadi cinta pertamanya. Adakah keharusan (necessity) bahwa Sari harus berpasangan dengan Ahmad? Dengan kata lain, adakah rasionalitas di balik pertemuan Sari dan Ahmad yang baru di kenalnya? Ataukah pengalaman jatuh cinta seperti ini di pengaruhi oleh faktor-faktor organis-eksternal yang tidak dapat dijelaskan secara rasional? Kalau Sari merasakan ketidakcocokan yang sangat hakiki dengan ahmad ketika pernikahan sudah diambang pintu, apa yang harus ia lakukan? Apabila Sari nekad melanjutkan pernikahanya dengan Ahmad, dikarenakan malu membatalkan pernikahan yang sudah terlanjur diketahui publik. Apakah perkawinan mereka akan penuh kepalsuan dengan kebahagian artifisial yang diciptakan melalui selebrasi ritual pernikahan semu?
Mari kita simak kutipan berikut yang merupakan  kisah Søren Kierkegaard dari catatan harianya, masih pada tanggal yang sama :
Akan tetapi dalam batin hari berikutnya, saya menyadari bahwa saya telah melakukan langkah yang keliru. Seorang yang sedang bertobat seperti saya ini, kehidupan masa lalu saya (vita ante acta), sifat melankoli saya, semua ini sudah cukup. Saya luar biasa menderita pada waktu itu. Regina kelihatanya tidak menyadarinya. Sebaliknya, semangatnya begitu luarbiasa, sehingga suatu kali ia berkata bahwa ia menerima saya karena belas-kasihan. Pendek kata, saya tidak pernah menemukan semangat yang begitu luarbiasa[3].
Søren Kierkegaard menyadari keburukan sifat-sifatnya dan kehidupan masa lalunya yang begitu kompleks. Ia sadar tidak pantas untuk meminang Regina, meskipun ia sangat mencintainya. Kalau demikian, apa yang harus ia lakukan? Meneruskan pernikahanya yang sudah direncanakan atau memutuskan pertunangan yang sudah dilangsungkan? Atas dasar apakah ia harus mengambil keputusan? Filsafat atau Agama, barangkali?
Membuat pilihan dan mengambil keputusan bukanlah hal yang mudah. Keharusan untuk memilih dan memutuskan persoalan yang berat dan kompleks sering kali mengundang gejolak jiwa dan penderitaan (agony). Keterbatasan manusia dalam mengetahui dan memahami realitas seringkali membuat manusia merasa cemas jangan-jangan ia salah memilih, terlebih apabila pilihan itu bukan antara pilihan yang baik dan yang jahat, melainkan antara dua kebaikan. Bagi Kierkegaard, itulah drama eksistensi manusia.
Manusia mengalami konflik yang mendalam ketika harus memutuskan salah satu diantara dua pilihan kebaikan. Pilhan sulit diantara dua plihan kebaikan biasanya melahirkan pahlawan tragis (tragic hero). Bagi Søren Kierkegaard, manusia adalah pengada yang selalu ditantang untuk memilih dan mengambil keputusan dalam pergulatan hidupnya.
Regina Olsen (1822-1904), el gran amor de Kierkegaard
Kembali kepada catatan harianya ia menuliskan seklumit perasaannya :
“… dan kegelisahan yang begitu parah ini, ya Tuhan – dimana aku ingin meyakinkan diriku sendiri setiap saat bahwa aku masih selalu mungkin untuk kembali padanya – akankah aku berani menghadapi gelisahku ini? Sangat sesak rasanya; harapan akhirku akan hidup telah kugantungkan padanya, sementara kini ku harus melucuti harapan itu dari diriku. Sungguh asing bagiku. Aku tak pernah berpikir sungguh soal perkawinan, namun ku tak pernah percaya jika harus berakhir dengan cara seperti ini lalu meninggalkan luka yang begitu dalam.
Dulu aku selalu menertawai orang-orang yang membicarakan kekuatan perempuan, sekarang pun masih demikian. Namun untuk sang dara nan cantik serta pengungkap segala rasa ini, sang dara yang selalu mencintai dengan segenap pikir dan hatinya, sang dara yang sungguh sangat berkorban, sungguh sangat membela - betapa seringnya aku begitu takluk dalam kedekatan. Hingga aku hampir saja menaruh cintanya mendekati api. Memang bukan cinta yang penuh dosa, namun aku butuh untuk sekedar berkata padanya bahwa aku mencintainya.
Segalanya seperti telah ditetapkan untuk mengakhiri masa mudaku. Namun kemudian ku sadar bahwa ini mungkin tak baik baginya. Aku mungkin saja menghambur badai di atas kepalanya, karena dia akan merasa bertanggung jawab atas ajalku (Catt: Kierkegaard merasa bahwa hidupnya singkat, ia akan mati muda).
Aku lebih suka pada yang kulakukan ini. Hubunganku dengannya selalu menjadi kegamangan, aku bahkan bisa memberi penafsiran apa saja atas hubungan itu, sesukaku. Aku telah menafsirkannya dengan memandang aku sebagai pendusta. Berbicara secara manusiawi, inilah jalan terbaik satu-satunya bagi Regina, demi ketenangan jiwanya.
Dosaku adalah bahwa aku tak memiliki iman, bahwa bagi Allah tiada yang mustahil dan bahwa ada tapal batas antara hal tersebut dengan mencobai Allah. Namun dosaku bukan dan selamanya bukanlah karena aku tidak mencintainya.
Andai saja dia tidak begitu berkorban untukku, andai saja dia tidak begitu mempercayaiku dan tidak berhenti untuk hidup bagi dirinya sendiri demi hidup buatku – maka semuanya kegelisaan itu tidak akan terlalu berarti. Aku tidak akan terganggu untuk melakukan kekonyolan di dunia dengan tetap bersamanya. Namun tidak untuk menipu gadis muda ini – oh, jika aku berani untuk kembali lagi padanya.
Inilah jalan yang kuambil. Bahkan andai dia tidak percaya kalau aku telah salah dalam hal ini, dia tentu percaya bahwa aku memiliki kehendak bebas untuk tidak kembali lagi padanya. Diamlah ya jiwaku, aku akan bertindak tegas sesuai dengan yang kuyakini benar. Aku juga telah menyaksikan apa yang kutulis dalam suratku padanya. Aku tahu suasana hatiku. Namun dalam surat aku tak dapat seketika menghilangkan kesan bahwa aku melihat kata-kataku terlalu keras. Tidak seperti saat aku berbicara langsung…. “[4]
Setelah mengetahui Regina mencintai Kierkegaard  karena belas kasihan dan setelah mengalami gejolak batin yang sangat melelahkan. Pada akhirnya Søren Kierkegaard memutuskan untuk membatalkan perkawinanya dengan Regina Olsen. Ayah regina berkali-kali membujuk Kierkegaard untuk melanjutkan perkawinanya, tapi Kierkegaard sudah memantapkan keputusanya dan tetap bersetia kepada kata hatinya. Bodoh? Beberapa orang mungkin mengatakan demikian. Tapi Kierkegaard telah menunjukkan satu teladan kejujuran hati, meskipun pahit.
Regina akhirnya menikah dengan Friedrich von Schlegel, seorang pegawai pemerintah Denmark. Von Schlegel kemudian diangkat menjadi Gubernur Jendral di Guyana Denmark (jajahan Denmark di Kepulauan Amerika Tengah) dan membawa keluarganya ke sana. Sekembalinya mereka dari Guyana Denmark, Soren Kierkegaard telah meninggal tanpa berumahtangga.
Kembali kepada ilustrasi diatas :
Dalam ilustrasi di atas, misalnya yang Sari tahu adalah perasaan cinta yang sesungguhnya adalah pada Fika sebagai cinta pertamanya. Sebagaimana perasaan-perasaan lainya, memang jelas ada dan bersifat pasti, artinya tidak menipu. Yang tidak pasti adalah keyakinan Sari bahwa Fikalah soulmate-nya. ‘Kebenaran Obyektif’ ini, dalam pandangan Kierkegaard, tidak dapat diketahui oleh manusia. Yang diketahui secara pasti oleh manusia adalah realitas eksistensinya sendiri sebagai seorang pelaku (agent).
Dalam ketidaktahuanya inilah Sari harus mengambil keputusan apakah akan meneruskan hubunganya dengan Ahmad ke jenjang perkawinan atau memilih bersetia kepada subyektifitasnya untuk kembali kepada Fika? Kalau dalam alasan-alasan tertentu ia yakin bahwa Fika adalah soulmate-nya (sebentuk kebenaran subyektif), maka ia harus memilih dan memberikan komitmen serta hidupnya kepada Fika demi meraih kebahagiaan yang sejati. Yang penting di sini bukanlah apakah Fika memang bukan sungguh soulmate-nya, melainkan relasi Sari sendiri (sebagai subyek) dengan kebenaran bahwa Fika adalah pasangan hidupnya yang sejati. Dan akan menjadi sebuah tragedi ketika manusia mengingkari kata hatinya. Begitulah menurut sang filsuf melankolis Søren Kierkegaard.
Bandung, 19 Mei 2012


[1] Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Bandung angkatan 2008
[2] Catatan Harian Søren A. Kierkegaard tanggal 24 Agustus 1849, dalam Thomas Hidya Tjaya Kierkegaard dan pergulatan menjadi diri sendiri (Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta : 2004.) hal 1-2.
[3] Ibid. Hal.3
[4] Journals & Papers of Søren Kierkegaard III A 166, terjemahan dari Risdo simangunsong dalam http://filsafat.kompasiana.com/2011/02/21/ku-cinta-kau-kau-kutinggalkan/


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Merkur Casino Review for 2021 | Pros and Cons + Pros
Merkur Casino is a reputable online wooricasinos.info casino with more than 1000 games. https://septcasino.com/review/merit-casino/ This casino features over herzamanindir 1400 https://deccasino.com/review/merit-casino/ games including https://deccasino.com/review/merit-casino/ classics like

Posting Komentar