Photobucket Photobucket Photobucket

Ngeblues

Ngeblues

Pirates

Pirates

Memperjuangkan Eksistensi Otentik

Selasa, 05 Juni 2012


Memperjuangkan Eksistensi Otentik;
Panggilan Menjadi Diri Sendiri
Oleh : Taufik Nurrohim[1]
Who Am I ....???
Setiap orang dalam relung hatinya yang terdalam pasti pernah mengalami berbagai pergulatan mengenai hidupnya; cintanya, pekerjaanya, keluarganya, aspirasinya atau cita-citanya, dan sebagainya. Pergolakan pribadi dapat dengan mudah  membuat orang memusatkan perhatian pada gejolak-gejolak hatinya, harapan dan kekecewaanya, dan apa yang harus dilakukanya dalam waktu dekat demi masa depan. Ruang batinnya menjadi ajang pertempuran berbagai gagasan dan pertimbangan yang tidak jarang sangat mendera hati. Hidup adalah sebuah rangkaian pilihan, membuat keputusan dan menjalankanya adalah suatu kiniscayaan yang tak bisa ditolak oleh manusia, namun apa yang orang butuhkan adalah memberi makna pada dirinya dengan setiap pilihan yang dia buat, seseorang harus hidup tanpa membohongi dirinya sendiri. untuk hidup seseorang harus memilih dan mengambil konsekuensinya.
Di era Reformasi ini, kita sebagai bangsa Indonesia merasa bangga bahwa diri kita bukan subyek kewenangan apa pun dari luar, bahwa kita bebas mengungkap gagasan dan perasaan kita, dan kita anggap kemerdekaan ini merupakan garansi yang nyaris otomatis bagi individualitas kita sebagai manusia. Kebebasan mengungkap pendapat dimuka umum  pun mendapat jaminanya dalam undang-undang. Namun hak untuk mengutarakan pikiran, betapapun juga akan ada artinya bila kita mampu memilki pikiran sendiri; kebebasan dari kewenangan luar hanya bisa bermakna jika kondisi-kondisi kejiwaan kita yang terdalam memiliki wajah tertentu hingga kita dapat menetapkan individualitas kita sendiri. Sudahkan kita gapai sasaran itu, atau setidak-tidaknya sudahkah kita mendekati sasaran itu? Atau kita hanya menjadi konsumen dari opini arus besar yang diproduksi oleh kelas yang berkuasa?
Diera Industri ini, budaya konsumerisme hampir tak bisa lagi kita bendung, kita disuguhkan budaya-budaya yang sebenarnya sangat asing bagi bangsa kita. kondisi-kondisi ekonomis telah meningkatkan keterkecualian dan ketidakberdayaan individu di zaman kita ini; ketidakberdayaan, pada giliranya, memunculkan hasrat untuk melarikan diri, atau bila tidak, membawa kita pada kompromi pada arus besar baik secara pemikiran, budaya dan lain-lain, yang sebenarnya dipaksakan, di mana individu yang terkucil menjadi automaton[2] – mahluk hidup yang bergerak dan berpikir serupa mesin, serba otomatis – individu kehilangan hakikat dirinya sendiri, namun secara sadar ia anggap dirinya bebas dan hanya tunduk pada dirinya sendiri, alias terbenam dalam khayal tentang kejayaan individualitas yang utopis.
Disinilah manusia mengalami kegagalan bereksistensi dan kehilangan otensitas dirinya sebagai manusia. Apa yang ‘asli’ atau ‘orisinal’ di sini bukan berarti belum pernah dipikirkan atau dirasakan oleh orang lain, melainkan pada individu yang bersangkutan, merupakan hasil kegiatanya sendiri, dan dalam arti semacam itu menjadi pikiranya sendiri. Lenyapnya jati diri menjadikan penyesuaian jadi tak terelakan; artinya, orang hanya bisa yakin akan dirinya sendiri bila ia mencocokan diri dengan harapan orang lain, Bila kita abaikan ini, bukan hanya ketidaksetujuan orang lain dan keterpencilan yang kita sedang alami kita pun pasti menghadapi risiko kehilangan jatidiri kepribadian kita, yang sama maknanya dengan mempertaruhkan kewarasan kita.
Pencarian eksistensi manusia yang otentik telah dilakukan secara intens oleh kaum eksistensialis sejak kemunculanya yang pertama kali, dua abad yang lalu, diantaranya yaitu Søren Aabye Kierkegaard (1813-1855) dan Jean Paul Sartre (1905-1980), mereka sangat menekankan aspek individu dalam filsafatnya. Pemikiran mereka juga menjadi cikal bakal lahirnya aliran psikologi eksistensialis, Dalam tulisan ini saya akan membahas proses menjadi diri sendiri dan menjadi manusia yang otentik menurut pemikiran kedua filsuf tersebut.
Dalam tesisnya yang ke XI mengenai Feuerbach Karl Marx mengatakan, “Para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan cara yang berbeda-beda; padahal, yang penting adalah mengubahnya.”[3] Yang harus diubah menurut Marx, adalah realitas sosial, khususnya struktur-struktur politik dan ekonomi yang membuat manusia terasing dari dirinya sendiri. Tesis marx ini dapat diubah menjadi tesis Kierkegaard hanya denagan memberi referensi dan makna baru pada obyek ’nya’ dalam kata ‘mengubahnya’.
Yang harus diubah, menurut Kierkegaard, bukanlah realiatas sosial (yang berada di luar diri manusia), melainkan diri sendiri (oneself). Orang tidak perlu terburu-buru ingin mengubah realitas sosial lingkungan hidupnya, melainkan harus mencari jati dirinya terlebih dahulu. Barangkali diri kitalah bagian dari persoalan itu, atau jangan-jangan justru kitalah bagian dari realitas sosial yang harus diubah! Maka dalam hal ini refleksi diri dan proses pencarian untuk menjadi diri sendiri menjadi sangat penting[4].
Gagasan pokok Kierkegaard yakni mengenai manusia dan perjuangannya mencari jati diri. Keberadaan manusia di dunia ini selalu ditantang untuk memilih dan mengambil keputusan. Melalui keputusan yang diambil dan komitmen yang diberikan atas keputusan itu, orang menjadi dirinya sendiri. Uraian Kiekergaard menyadarkan kita bahwa menjadi otentik (asli), menjadi diri sendiri atau dalam bahasa psikologinya integral, merupakan proses yang sangat penting. Keselarasan antara apa yang diyakini dengan apa yang dihayati sehari-hari dalam tindakan, sangat jarang ditemui pada zaman ini.
Membuat keputusan yang baik dan menjalankannya sering tidak mudah. Namun, justru di situlah keaslian kita sebagai manusia diuji. Pemikiran Kierkegaard mengajak Anda berefleksi tentang keaslian itu. Membuat pilihan dan mengambil keputusan bukan hal yang mudah. Keharusan untuk memilih dan memutuskan persoalan, apalagi yang berat dan sulit, sering mengundang penderitaan. Ketidaklengkapan informasi kerap membuat manusia merasa cemas. Jangan-jangan ia salah pilih, terlebih bila pilihan itu bukan antara yang baik dan jahat, melainkan antara dua hal baik.
Bagi Sartre, hakikat manusia adalah hidup untuk diri sendiri. Manusia ada pertama kali sebagai benda, namun kemudian menjadi manusia ketika ia secara bebas memilih moralitas yang diinginkanya. Dengan kebebasan untuk menentukan menjadi manusia seperti ini atau itu, dengan kebebasan memilih benda-benda maupun nilai-nilai untuk dirinya sendiri, ia akan membentuk “hakikat” nya sendiri. Dalam bahasa Sartre, Manusia bukanlah sesuatu yang lain kecuali bahwa ia menciptakan dirinya sendiri.
Manusia sepenuhnya milik dirinya sendiri, sehingga ia harus memutuskan sendiri pula dan harus memilih sendiri bebas. “We are condemned to be free”, kata Sartre. Ungkapan Sartre ini sebenarnya paradoksial sebab condemned (dihukum) berlawanan dengan free (bebas). Walaupun begitu, apabila kita mau merenung jauh, benar juga kata Sartre. Kita tidak bebas untuk bertindak bebas. Maksudnya, kebebasan merupakan nasib kita yang tak terhindarkan. Merdeka, sebab kita manusia.
Bagi Sartre, orang lain boleh menasehati, mereka boleh menunjukan bagaimana cara terbaik untuk menjalani hidup, namun  tidak satupun dari mereka bisa menunjukkan kekuasaanya. Setiap orang menjadi juri tertinggi moralitas, setiap orang adalah penemu nilai. Keren, kan? Sartre memusatkan eksistensi pada tindakan manusia. Beberapa tanya jawab berikut bisa menggambarkan pemikiran Sartre.
Apa yang dimaksud dengan tindakan sendiri?
Dalam satu kata, “Pilihan”, ujar Sartre
Apa yang dimaksud pilihan?
Sartre menjawab, “sesuatu yang menyebabkan kita bertanggungjawab”.
Beratnggungjawab kepada siapa?
“Bertanggungjawab kepada diri sendiri” jawab Sartre[5]
Jawaban terakhirnya mendapatkan kritikan dari kalangan agamawan, karena secara tersirat Sartre menganggap dirinya Tuhan.Walau bagaimanapun, kita juga harus berterimakasih terhadap Kierkegaard dan Sartre karena mereka menekankan arti tanggungjawab dalam menjalani kehidupan yang absurd ini. Kedua-duanya adalah filsuf eksistensialisme. Mereka mengajari kita bagaimana hidup sebagaimana diri kita sebenarnya. Kita selalu memilih dalam menjalani hidup, lalu kita harus berkomitmen, kita bertanggung jawab atas segala konsekuensi atas pilihan itu. Secara garis besar Kierkegaard dan Sartre mengajari tema yang sama yaitu proses memperjuangkan eksistensi manusia yang otentik.


[1] Penulis adalah mahasiswa psikologi UIN Sunan Gunung Djati angkatan 2008, penulis pernah aktif sebagai Sekretaris Umum SMF Psikologi Periode 2010-2011, penulis juga aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Kota Bandung
[2] Erich Fromm, “Mendidik Si Automaton”, dalam  Menggugat Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hlm. 343-344
[3] Karl Marx, “Theses on Feuerbach,” dalam Karl Marx and Fredeich Engels, selected works, vol. 2 (Moscow; Foreign Languages Publishing House, 1962) Hlm.405.
[4] Hidya Tjaya, Thomas, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2004. Hlm.153-154.
[5] Fauz Noor, Tapak Sabda, Yogyakarta, Pustaka Sastra LKIS, 2004. Hlm 406-412


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

2 komentar:

Fathimah at-Thahirah mengatakan...

suka banget sama penggalan kalimat "Orang tidak perlu terburu-buru ingin mengubah realitas sosial lingkungan hidupnya, melainkan harus mencari jati dirinya terlebih dahulu. Barangkali diri kitalah bagian dari persoalan itu, atau jangan-jangan justru kitalah bagian dari realitas sosial yang harus diubah! Maka dalam hal ini refleksi diri dan proses pencarian untuk menjadi diri sendiri menjadi sangat penting"
jadi merenung memang yang paling penting kenali dulu diri sendiri.

udellgage mengatakan...

WynnBET Casino $2.49M Super Lotto Ticket Sold in Stockton
WynnBET 논산 출장마사지 Casino is a 과천 출장마사지 new name in the United States of America. 군포 출장안마 The iconic poker room 대구광역 출장마사지 opened on 논산 출장마사지 July 8th, 2012, and was a winner.

Posting Komentar