Phenomenologi dan Metode Dialektika (Tesis, Antitesis dan  
Sintesis)[1]
Georg. Wilhelm 
Friedrich Hegel (1770-1831)
Oleh : Taufik Nurrohim[2]
“Sejarah
 bergerak maju secara dialektis menuju kebebasan yang  semakin besar dan
 rasional” G.W.F Hegel
Filsafat yang
 berpengaruh di Eropa pada abad ke-19 adalah idealisme  dari Jerman, 
khususnya yang dibangun oleh G.W.F Hegel (1770-1831).  Idealisme adalah 
aliran filsafat yang berpendapat bahwa dunia tergantung  pada gagasan 
yang kita bangun, atau merupakan hasil kegiatan kesadaran  kita. 
Immanuel Kant (1724-1804) sudah merintis jalan ke arah pandangan  ini 
ketika ia mengatakan bahwa pengalaman kita mengenai dunia ditentukan  
oleh struktur akal budi dan kategori pemikiran yang kita miliki. Ini  
tak ubahnya seperti ketika kita memakai kacamata merah, dan kita mulai  
melihat segala sesuatu berwarna merah, padahal benda-benda yang kita  
lihat atau realitas sebenarnya belum tentu berwarna demikian. Inilah  
dunia “penampakan” (phenomena), dunia pengalaman kita  
sebagaimana  ditentukan oleh struktur kesadaran kita, yang berlawanan  
dengan dunia pada dirinya sendiri (noumena).
Akan
 tetapi, para filsuf idealis sesudah kant, seperti Johann  Gottleib 
Fichte (1762-1814) dan Friedrich Wilhelm Joseph von Schelling  
(1775-1854) serta G.W.F Hegel menolak adanya dunia-pada-dirinya-sendiri.
  Mereka mengembangkan filsafat yang berpusat pada dunia kesadaran, 
yakni  kesadaran universal atau diri absolut (absolut self) 
yang  bekerja di alam dan dalam kesadaran manusia individual, serta 
mencoba  mempersatukan keduanya. Tugas filsafat dalam hal ini adalah 
menjadikan  Diri absolut ini eksplisit. Bagi Hegel, hal ini berarti 
meninjau kembali  sejarah filsafat dan pemikiran manusia pada umumnya, 
guna menunjukan  bahwa semua “bentuk kesadaran” kita (form 
consciousness) sedang  berusaha merealisasikan identitas Diri 
absolut ini.
Hegel : Proses Dialektis dan 
Perjalanan Roh Absolut
Untuk memahami filsafat Hegel, 
Pertama-tama kita perlu mengetahui  cara Hegel melihat proses pencapaian
 pengetahuan. Bagi Hegel,  pengetahuan tidak diperoleh hanya melalui 
proses interaksi satu arah  dari subyek (manusia yang mengetahui) kepada
 obyek (yang diketahui),  melainkan bersifat timbal-balik (reciprocal),
 atau dalam  istilah Hegel disebut “dialektis”.
Hegel 
mengawali argumen logikanya dengan asumsi “Yang mutlak adalah  
Yang-Berada Murni (Pure Being)”; kita mengasumsikan bahwa ini  
hanya berada (is), tanpa menentukan kualitas apa pun padanya.  
Namun yang berada murni tanpa kualitas apa pun adalah yang-tiada (Nothing);
  oleh sebab itu, kita terarah ke antitesis: “Yang mutlak adalah  
Yang-Tiada.” Dari tesis dan antitesis ini kita berjalan terus ke  
sintesisnya: penyatuan antara Yang-Berada dan Yang-Tidak-Berada adalah  
Yang-Menjadi (Becoming), dan dengan demikian kita mengatakan  
“Yang mutlak adalah Yang-Menjadi.”
Pengetahuan saya mengenai 
sifat-sifat sahabat baik saya, misalnya, tidak  sekedar saya miliki 
dalam kepala saya (obyek pengetahuan di dalam  subyek yang mengetahui), 
melainkan mengubah dan mempengaruhi cara saya  bertindak dan 
berinteraksi denganya. Apa yang saya ketahui dan saya yang  mengetahui 
itu saling mengembangkan. Dengan demikian, pengetahuan itu  tidak akan 
pernah selesai atau bersifat final. Pengetahuan hari ini  mengenai 
sahabat saya itu akan diperbaharui dan dilengkapi oleh  pengetahuan saya
 mengenainya di waktu-waktu mendatang. Pengetahuan  dicapai melalui 
suatu proses yang terus-menerus terjadi (ongoing  process), di 
mana yang mengetahui (knower) dan yang  diketahui (known)
 saling mempengaruhi dan mengembangkan.
Ditempatkan dalam konteks 
pengetahuan manusia mengenai realitas,  pandangan Hegel ini ingin 
mengatakan bahwa kebenaran atau pengetahuan  sejati tidaklah dapat 
ditemukan hanya dengan memeriksa situasi atau masa  tertentu dalam 
kehidupan manusia. Pengetahuan sejati sesungguhnya  mewujudkan atau 
memperlihatkan diri hanya melalui proses perkembangan  yang terjadi 
dalam perjalanan sejarah. Maka satu-satunya cara untuk  mencapai 
realitas sejati atau kebenaran adalah dengan menggunakan  pendekatan 
historis atau genetis.
Orang, termasuk filsuf, harus mengamati 
dengan cermat ke arah mana gerak  sejarah manusia. Melalui pendekatan 
historis atau genetis ini Hegel  memperlihatkan bahwa perkembangan yang 
terjadi sampai tahap tertentu  merupakan hasil yang ‘harus terjadi’ (necessary)
 dari segala  konflik dan perbedaan serta koreksi-koreksi yang terjadi 
sebelumnya.  Perang dan Revolusi dalam sejarah manusia, misalnya tidak 
terjadi tanpa  alasan, melainkan memiliki tujuan tertentu, yakni membuat
 manusia  semakin mengenal diri dan realitas kehidupanya, dan akhirnya 
memperoleh  pengetahuan absolut.
Hegel mengatakan bahwa proses 
perealisasian Roh itu berlangsung dalam  tiga momen besar. Momen pertama
 adalah Roh Subjektif yang terdiri dari  antropologi atau jiwa, 
kesadaran dan psikologi atau pikiran, sementara  momen kedua adalah Roh 
Objektif sebagai Roh yang merealisasikan diri  dalam dunia 
sosial-politis kongkret dalam bentuk hukum abstrak (Abstraktes  
Recht), moralitas (Moralitat) dan tatanan sosial etis (Sittlichkeit),
  dan momen ketiga adalah Roh Absolut yang terdiri dari seni, agama dan 
 filsafat. Ketiga momen ini (Roh Subjektif, Roh Objektif dan Roh 
Absolut)  merupakan isi dari keseluruhan sistem filsafat Hegel yang 
menurut klaim  Hegel sendiri telah mencakup dan membahas keseluruhan 
kenyataan.
Konsep penting yang harus dipahami di sini adalah 
‘absolut’ (das  Absolute) dan ‘Roh’ (Geist). Kata 
absolut atau mutlak di  sini tidak berarti ‘harus’ atau ‘tidak dapat 
ditawar-tawar’, melainkan  lengkap, penuh dan menyeluruh.  Bagi Hegel, 
Yang Absolut adalah  keseluruhan realitas pada dirinya sendiri, yang 
dapat diketahui oleh  manusia (knowledge reality), ‘Mengenal 
Yang Absolut’ berarti  mengenal realitas yang sebenarnya (jadi bukan 
hanya persepsi atau  gagasan kita saja mengenai realitas itu). 
Pengetahuan ‘Absolut’ sendiri  berarti pengetahuan yang bebas dari bias 
atau distorsi, menyeluruh,  tidak tergantung pada konteks atau kondisi 
tertentu, dan tanpa  inkonsistensi internal. Pada pengetahuan absolut 
proses dialektis  berhenti karena memang pengetahuan ini tidak dapat 
diatasi atau  dilampaui lagi. Pendek kata, pengetahuan absolut merupakan
 pengetahuan  ‘terakhir’ (final) yang bersifat penuh dan menyeluruh.
Keluarga, Masyarakat Warga dan Negara dalam pemikiran G.W.F Hegel
Kendatipun
 Karl Marx mengkritk filsafat politik Hegel dengan sangat  tajam dalam 
tulisanya yang berjudul kritik der Hegelschen  Staatsphilosophie
 (Kritik Atas Filsafat Negara Hegel), ia tetap  mengakui bahwa filsafat 
hukum dan filsafat politik di Jerman menemukan  rumusanya yang paling 
kaya, paling akhir dan paling mendalam dalam Rechtsphilosophie 
(Filsafat Hukum) Hegel. Salah satu konsep yang  paling sentral dan 
paling banyak mendapat tanggapan serta merupakan  konsep Hegel yang 
terpenting dalam filsafat hukumnya adalah Sittlichkeit yakni 
keluarga (die Familie), masyarakat warga (die  burgerliche 
Gesellschaft), dan Negara (der Staat). Sebelum  
menjelaskan tentang  sittlichkeit, saya akan lebih terlebih  
dahulu memperlihatkan momen-momen dialektis yang menghasilkan masyarakat
  warga tersebut.
Tesis : Hukum Abstrak
Hukum
 abstrak adalah tanda dan pengalaman pertama akan kebebasan.  
Aktualisasi kebebasan pada momen ini terdapat pada kepemilikan  
benda-benda (Eigentum). Kepemilikan atas hak milik adalah tanda
  kebebasan yang paling minimal. Orang bebas menjalankan kehendaknya 
atas  benda-benda yang dimilikinya. Hukum di sini disebut abstrak karena
 ia  hanya terbatas pada kehendak langsung yang bersifat personal dari  
individu, sementara hukum yang kongkret adalah hukum yang telah  
terinstitusionalisasi secara sosial-politis, yakni dalam bidang Sittlichkeit.
Antitesis : Moralitas
Dalam moralitas, individu telah  
tampil sebagai subjek yang mempertahankan otonominya dalam berhadapan  
dengan dunianya. Kebebasan di sini sudah lebih maju, nyata dan rasional 
 dibandingkan dengan kebebasan dalam hukum abstrak, karena pada momen 
ini  kebebasan tidak lagi bersifat langsung dan abstrak, melainkan telah
  dimediasi. Yang menjadi mediator dalam kebebasan di sini tentu saja  
adalah nilai-nilai atau norma-norma terhadapnya orang menentukan sikap.
Di
 sini sebenarnya Hegel mengikuti (sekaligus kemudian secara  dialektis 
mengkritik) Kant mengenai otonomi moral. Kant telah  mendefinisikan 
kebebasan sebagai otonomi, yakni subjek yang mampu  menjadi “pemberi 
hukum” moral bagi dirinya sendiri dan mentaati hukum  yang ditetapkanya 
itu berdasarkan kehendak bebasnya sendiri. Subjek yang  otonom adalah 
subjek yang bebas.
Sintesis : Sittlichkeit[3] 
Sittlichkeit,
 dengan demikian, adalah sintesis antara  kehendak langsung dalam hukum 
abstrak dan kehendak subjektif dalam  moralitas. Bila pada momen hukum 
abstrak, kebebasan itu masih bersifat  langsung alami dan abstrak serta 
teraktualisasikan dalam kepemilikan  atas benda-benda, sementara pada 
momen moralitas kebebasan bersifat  formal dan subjektif serta 
teraktualisasikan dalam kemampuan untuk  bertindak secara otonom, maka 
dalam sittlichkeit, kebebasan itu  telah konkret dan objektif 
karena telah terjangkar dalam  struktur-struktur sosial yang terrdapat 
dalam komunitas. Sittlichkeit, dengan demikian, merupakan 
konteks sesungguhnya di mana individu dapat  mencapai dan merealisasikan
 diri dan kebebasanya dengan baik.
Sittlichkeit dapat 
dikatakan sebagai totalitas sosial-etis,  yang terbentuk dan 
tersedimentasi dalam perjalanan sejarah sebuah  komunitas. Hegel menulis
 :
 “Dalam masyarakat yang etis, tidak sulit mengatakan apa 
yang harus  dilakukan orang, apa kewajiban yang harus dipenuhinya agar 
ia  berkeutamaan – yang harus dilakukanya tidak lain dari apa yang  
diajarkan, diungkapkan dan diketahuinya melalui relasinya (dalam  
masyarakat).”
Keluarga
Keluarga, 
masyarakat warga dan negara adalah tiga momen Sittlichkeit 
dalam masyarakat modern. Hegel mengatakan bahwa keluarga adalah bentuk  
kehidupan etis yang paling dasar dan alami. Tidak ada lagi institusi  
lain yang mendahului keluarga yang dapat dikatakan sebagai bentuk  
kehidupan etis. Bahkan keluarga yang paling primitif pada zaman  
purbakala pun telah mengajarkan nilai-nilai etis tertentu. Melalui  
pendidikan di dalam keluargalah orang pertama-tama mengenal dan belajar 
 apa itu yang etis. Sebagai momen yang menegasi moralitas, dalam  
institusi keluarga juga terdapat subjektivitas, misalnya dalam kebebasan
  memilih pasangan hidup dan dalam keputusan untuk menghasilkan  
keturunan. Tapi subjektivitas dan kebebasan di sini tertutupi oleh  
kebersamaan yang didasarkan atas cinta sebagai dasar atau fondasi bagi  
institusi keluarga.
Dalam keluarga, kata Hegel, orang tidak 
melihat dirinya sebagai individu  partikular yang bebas dengan hak vis-a-vis
 satu sama lain,  melainkan sebagai bagian tak terpisahkan dari sebuah 
totalitas  kebersamaan. Dalam keluarga masing-masing orang selalu 
memahami dirinya  dalam relasinya dengan anggota keluarga lainya, entah 
sebagai anak, ibu  istri atau bapak. Di sini tidak ada tempat bagi 
individualitas atau  egoisme. Sebagai subtansialitas langsung dari Roh, 
keluarga memiliki  kesatuan yang dirasakan menentukan keluarga itu, 
yakni cinta, sehingga  muncul keyakinan berupa kesadaran diri mengenai 
individualitas dalam  kesatuan tersebut, sebagai esensi yang ada pada 
dan untuk dirinya  sendiri, dan karena itu dalam ikatan tersebut ia 
bukan sebuah Person,  melainkan anggota (Mitglied).
Masyarakat Warga
Defisit subjektifitas dalam keluarga 
menjadi faktor logis pendorong  munculnya momen berikutnya, yakni 
masyarakat warga, karena manusia  tidaklah semata-mata merupakan bagian 
dari sebuah kolektifitas tapi juga  individualitas partikular yang 
memiliki subjektifitasnya masing-masing.  Masyarakat warga adalah 
“kerajaan kebebasan” di mana individu-individu  yang telah meninggalkan 
wilayah keluarga bertemu satu sama lain  berdasarkan dorongan 
kepentingan subjektifnya. Dalam momen masyarakat  warga, kebersamaan 
absen dan digantikan oleh kepentingan partikular  subjektif.
Orang
 berdagang di pasar bukan karena ia mau memenuhi kebutuhan  subjektifnya
 sendiri. Pembeli pun demikian. Pembeli membeli barang yang  ditawarkan 
pedagang bukan karena ia mau menolong pedagang, melainkan  karena ia 
harus memenuhi kebutuhan subjektifnya sendiri. Dalam  masyarakat warga, 
kata Hegel, setiap orang menjadikan dirinya sebagai  tujuan, orang lain 
tidak berarti apa-apa baginya kecuali sebagai sarana  bagi pemuasan 
kebutuhan subjektifnya. Demikianlah, setiap orang  menjadikan setiap 
orang lainya sebagai sarana bagi pemuasan kebutuhanya,  sehingga 
terciptalah “sebuah sistem interdepedensi yang komplet”.
Negara
“Karena
 Kebenaran adalah kesatuan dari Kehendak universal dan  subyektif; dan 
yang Universal harus ditemukan dalam Negara, dalam  hukum-hukumnya, 
dalam bentuknya yang universal dan rasional. Negara  adalah Roh Tuhan 
yang ada di atas Bumi” Hegel, Philosophy Of  History
Di
 sini kita dapat memilih nilai positif dan negatif yang terkandung  
dalam kedua momen sebelumnya. Dalam keluarga terdapat kebersamaan atau  
kolektivitas tapi subjektifitas tidak ada. Sebaliknya, dalam masyarakat 
 warga  terdapat subjektifitas tapi kolektifitas tidak ada. Dan  
masyarakat tentu tidak dapat bertahan bila setiap anggotanya mengejar  
kepentingan subjektifnya sendiri dengan saling menjadikan semua yang  
lain sebagai sarana. Egoisme dan subjektifitas seperti ini tentu tidak  
mungkin dijadikan dasar hidup bersama. Di sinilah negara muncul, sebagai
  sintesis yang mentranformasi secara dialektis unsur-unsur positif yang
  terdapat dalam kedua momen sebelumnya.
Unsur positif dalam 
keluarga adalah kesatuan organis yang menempatkan  kepentingan bersama 
di atas kepentingan pribadi, sementara unsur  negatifnya adalah belum 
adanya kesadaran akan subjektivitas yang  rasional. Unsur positif dalam 
masyarakat warga adalah subjektifitas  sebagai individu yang mandiri, 
sedangkan unsur negatifnya adalah sikap  liberal individual yang 
cenderung anarkis. Dalam negara, tentu yang  dimaksud di sini adalah 
negara organis dan modern ala Hegel.  Elemen-elemen positif 
dalam keluarga dan masyarakat warga dipertahankan  dan diangkat ke level
 yang lebih tinggi : prinsip keluarga, yakni  universalitas dijunjung 
tapi sekaligus prinsip masyarakat warga, yakni  partikularitas didorong 
untuk berkembang sepenuhnya.
Tentang negara, Hegel menulis :
“Esensi
 negara modern adalah bahwa yang universal terjalin dengan  kebebasan 
penuh para anggota partikularnya dan dengan kesejahteraan  individu, 
juga bahwa kepentingan keluarga dan masyarakat warga harus  tersimpul di
 dalam negara ... (Dengan demikian) yang universal harus  dijalankan, 
tapi di sisi lain, subyektivitas juga menjadi berkembang  secara penuh 
dan hidup. Hanya bila kedua momen itu berlangsung dalam  kepenuhanyalah 
maka negara dapat dipandang telah diorganisasikan dan  ditata secara 
benar”.
Pada bagian lain ia menambahakan :
“Prinsip
 negara modern memiliki kedalaman dan kekuatan luar  biasa, yakni ia 
mendukung prinsip subjektifitas berkembang hingga  partikularitas 
personal mencapai kemandirian yang ekstrim, tapi  sekaligus ia 
menariknya ke kesatuan subtansial, dan dengan demikian  kesatuan 
tersebut tetap berada dalam kerangka subjektifitas”.
Konsep 
kunci dalam skema dialektika Hegel : Universalitas (U) adalah  tesis, 
Partikularitas (P) antitesis, Individualitas (I) sintesis. Setiap  momen
 dialektis selalu diawali secara konseptual dengan (U) yang  kemudian 
mengalami antitesis atau negasi, yakni (P), dan pada akhirnya  
tersintesakan dalam (I). Universalitas berarti kesatuan  yang belum  
terdiferensiasi, sementara Partikularitas diferensiasi atau perbedaan  
yang muncul dari (U), sedangkan Individualitas adalah sintesis dari  
keduanya, yakni yang telah menyatukan baik kesatuan maupun perbedaan  
dalam level yang lebih tinggi. Dengan penjelasan yang sangat singkat  
ini, maka secara konseptual kita dapat mengatakan keluarga sebagai  
Universalitas, masyarakat warga sebagai Partikularitas, sedangkan negara
  (sebagai sintesis dari keduanya) sebagai Individualitas.
Daftar Bacaan                       :
- Budi Hardiman, F. Kritik Ideologi, Yogyakarta: Kanisius, 1989
 - Budi Hardiman, F. Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kanisius, 2007
 - Budi Hardiman, F. Ruang Publik, Yogyakarta: Kanisius, 2010
 - Hegel, G. W. F., Filsafat Sejarah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
 - Henry J.Schmandt, Filsafat Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002
 - Hidya Tjaya, Thomas, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2004
 - Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
 - Schacht, Richard, Alienasi: Yogyakarta, Jalasutra, 2005
 
[1] 
Makalah ini disampaikan diacara Program Studi Epistemologi  (Filsafat 
Ilmu) Rumah Indonesia, Jakarta 
[2] Penulis adalah 
mahasiswa psikologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung  angkatan 2008
[3]
 Secara sederhana, istilah Sittlichkeit dapat  didefinisikan 
sebagai keseluruhan tatanan sosial-politik yang mewujudkan  secara 
kongkret keseluruhan nilai-nilai moral hukum, aturan-aturan  
konvensional, cita-cita dan kehendak warga negara atau secara singkat  
“tatanan sosial-politik etis”.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer





0 komentar:
Posting Komentar