Photobucket Photobucket Photobucket

Ngeblues

Ngeblues

Pirates

Pirates

Resensi Buku Empai Esai Etika Politik

Kamis, 15 September 2011


Judul Buku : Empat Esai Etika Politik
Penulis : F. Budi Hardiman, Robertus Robet, A. Setyo Wibowo, Thomas Hidya Tjaya, Bagus Takwin (Introduction)
Penerbit : www.srimulyani.net
Tahun Terbit : Februari 2011
ISBN : 978-602-98614-0-2
Ukuran : 14,6 x 21,6cm
Jumlah Halaman : 120 Hlm
Harga : Rp. 40.000,-

Resensi Oleh :
Taufik Nurrohim
Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN SGD Bandung Angkatan 2008

Buku ini merupakan kumpulan dari seri kuliah publik Etika Politik yang diselenggarakan oleh komunitas salihara pada  2010 lalu, yang menyoroti pemikiran Jurgen Habermas, Jacques Ranciere, Albert Camus, dan Emmanuel Levinas. Keempat tokoh ini adalah pemikir-pemikir orisinil yang punya konsep masing-masing tentang etika politik . Sudut pandang, bangunan logika, dan gaya penuturan mereka sangat khas. Dalam pemikiran keempat tokoh ini tentang etika politik yang diwadahi oleh tulisan-tulisan di buku ini membuat kita harus memikirkan kembali makna politik itu sendiri.
Etika Diskursus
Etika Habermas dikenal dengan nama ‘etika diskursus‘ yang dikembangkannya di tahun 80-an, namun di tahun 90-an dia menerapkan etika diskursus itu dalam politik menjadi teori diskursus. Baik dalam etika diskursus maupun teori diskursus Habermas melanjutkan strategi perubahan dari paradigma filsafat subyek ke paradigma intersubyektivitas dengan melontarkan kritiknya atas filsafat praktis Kant.
Untuk memahami apa itu etika diskursus, kita perlu memahami lebih dahulu apa itu diskursus praktis. Kehidupan bersama di dalam sebuah masyarakat membentuk suatu tatanan sosial, jika para anggota masyarakat ini mematuhi norma-norma tertentu yang mengatur prilaku mereka. Tujuan diskursus praktis adalah pemahaman timbal-balik atas norma-norma tindakan yang dipatuhi bersama. Hanya konsensus yang diterima oleh semua peserta secara intersubyektif dan tanpa paksaan dapat dianggap rasional. Prasyarat-prasyarat komunikasi manakah yang harus dipenuhi untuk memperoleh sebuah konsensus rasional yang diterima umum? Jawaban Habermas, diskursus seharusnya bersifat inklusif, egaliter dan bebas-dominasi.
Pemikiran Habermas dengan etika diskursus dan konsep rasio prosedural dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk menemukan syrat-syarat dan prosedur menjalankan kehidupan bersama. Dengan konsep itu Habermas tak hendak menentukan “politik yang memadai” atau subtansi dari politik, melainkan mengoperasionalkan relasi “ikut-mengambil-peranan”. Pada intinya pemikiran Habermas sejalan dengan pengertian politik sebagai relasi “ikut-mengambil-peranan” dalam kehidupan bersama, dalam kerangka pikir Habermas, keputusan-keputusan subyek politik secara subtansial tidak ditentukan oleh hal-hal diluar hubungan politik, melainkan ditentukan di dalamnya.
Etika Kesetaraan Radikal
Etika Kesetaraan Radikal adalah etika politik yang digagas Jacques Ranciere, Ranciere memandang politik sebagai sesuatu yang harus didefinisikan tersendiri, tak terpredikasi oleh yang lain, juga oleh kekuasaan. Baginya politik bukan usaha untuk mempertahankan kekuasaan atau pertarungan antara pihak-pihak untuk memperoleh kekuasaan sebesar-besarnya. Politik harus dipahami sebagai mode dari penempatan tindakan ke dalam praktik oleh subyek khusus dan diturunkan dari bentuk nalar tertentu. Politik memanggil orang untuk menjadi subyek, memunculkan dan menampilkan subyektivitasnya. Bukan seseorang atau sekelompok orang yang menentukan poltik.
Bagi Ranciere, mengenali politik sebagai usaha mempertahankan, memperjuangkan, atau memiliki kekuasaan berarti menjauhi politik, dan bagi Ranciere segala sesuatu mengenai politik terkandung dalam hubungan khusus antara orang-orang yang ada didalamnya, yaitu “ikut-mengambil-peranan” (part-taking /avoir part) dalam kehidupan bersama. Hubungan “ikut-mengambil-peranan” ini merupakan inti dari makna dan syarat bagi kemungkinan yang dikandung politik. Hubungan “ikut-mengambil-peranan” ini diturunkan dari aksioma kesetaraan, bahwa manusia setara dan kesteraanya adalah setiap manusia mampu berpikir. Kebersamaan yang terdiri dari individu-individu yang setara harus diatur oleh kebersamaan itu sendiri, bebas dari rezim-rezim di luar kebersamaan itu.
Etika Menghadapi Absurditas
Etika politik Albert Camus yaitu etika menghadapi absurditas, Cara Camus menjelaskan mengenai absurditas (sesuatu yang tanpa alasan dan tanpa tujuan, namun ia hadir begitu saja) melanjutkan intuisi nietzschean tentang realitas mentah dunia ini yang mesti kita terima apa adanya tanpa lari mencari-cari “pegangan” (dalam bentuk ide ide fixed entah itu Tuhan atau being itself). Etika politik albert camus ini bisa kita temukan dalam karyanya yaitu roman Albert Camus berjudul La peste (Sampar) berkisah tentang peristiwa luar biasa yang menghantam penduduk kota Oran. Lewat kisah ini, Camus menggambarkan macam-macam sikap manusia di depan wabah sampar.
Politik dalam presfektif Camus sepertinya bisa dipahami sebagai ikhtiar bersama-sama melawan “Yang Bathil” dan bertempur di sisi korban tanpa berharap akan kemenangan absolut. Meski perlawanan dan pemberontakan yang diserukan Camus pada dasarnya ia memandang keberadaan manusia lain sebagai hal yang positif dan secara tersirat ia memandang bahwa kehidupan bersama adalah ajang keterlibatan kongkret untuk membela para korban membela manusia lain meskipun tujuan akhir itu tidak ada. Baginya yang penting itu adalah bertindak dan bertanggungjawab atas penderitaan yang ada di dunia itulah cara manusia mengisi hidup.
Dari sini kita bisa menemukan implikasi lebih jauh dalam konteks politik yaitu politik dalam kerangka pikir Camus juga adalah relasi “ikut-mengambil-peranan”. Politik tidak ditentukan dari luar kehidupan bersama tidak didasari oleh konsep “politik yang memadai”, juga tidak oleh nilai-nilai selain keberhagaan manusia. Politik adalah usaha kongkret untuk mencegah agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi usaha itu dilakukan di tataran yang mungkin dilakukan tanpa pretensi kemenangan absolut.
Etika dan Signifikasi Transenden Wajah Manusia
Etika dan Signifikasi Transenden Wajah Manusia, itulah tema etika politik yang diusung oleh Emmanuel Levinas, bagi Levinas pertemuan antar wajah atau relasi etis inilah yang menjadi dasar etika politiknya, khususnya lewat konsep “keadilan” dan “pihak ketiga”. Dalam pemikiran Levinas, wajah merupakan pemaknaan tanpa konteks karena hanya dengan wajah itu saja kita dapat memperoleh maknanya. Bagi Levinas, etika bukanlah pertama-tama aturan-aturan moral atau prinsip-prinsip hidup yang baik sebagaimana sering kita temukan dalam sejarah filsafat Barat.
Makna konsep ‘keadilan’ dalam etika politik Levinas, yakni bahwa keadilan merupakan pengakuan terhadap sebuah realitas plural, yakni komunitas politik, dan usaha memperjuangkannya merupakan ungkapan penghargaan dan tanggung jawab terhadap setiap anggota komunitas ini. Dalam konteks pengabdian terhadap keadilan inilah eksistensi negara dapat dibenarkan. Negara diperlukan agar keadilan dapat dicapai. Oleh karena itu, keadilan sebagaimana dipahami oleh Levinas harus dilihat bukan sebagai hasil kontrak sosial, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap semua orang dalam sebuah komunitas politik.
Politik yang etis bagi Levinas adalah pertemuan manusia dengan manusia lain yang tidak saling menundukan karena menyadari wajah yang menolak untuk ditundukan. Bagi Levinas, pertemuan antarwajah adalah relasi etis dan inilah yang menjadi dasar etika politiknya, khususnya lewat konsep “keadilan” dan “pihak ketiga”. Kehidupan bersama yang dibangun dengan relasi “ikut-mengambil-peranan”, dalam kerangka pikir Levinas, dapat kita pahami sebagai hubungan antar wajah dan dengan demikian merupakan manisfestasi tiba-tiba atas esensi atau makna realitas kehidupan bersama, yakni tanggungjawab terhadap “yang lain” dalam pluralitas.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

Posting Komentar