Judul Buku : Empat Esai Etika Politik
Penulis : F. Budi Hardiman, Robertus Robet, A. Setyo Wibowo, Thomas
Hidya Tjaya, Bagus Takwin (Introduction)
Penerbit : www.srimulyani.net
Tahun Terbit : Februari 2011
ISBN : 978-602-98614-0-2
Ukuran : 14,6 x 21,6cm
Jumlah Halaman : 120 Hlm
Harga : Rp. 40.000,-
Resensi
Oleh :
Taufik
Nurrohim
Mahasiswa
Fakultas Psikologi UIN SGD
Bandung Angkatan 2008
Buku
ini merupakan kumpulan dari seri kuliah publik Etika Politik yang
diselenggarakan oleh komunitas salihara pada
2010 lalu, yang menyoroti pemikiran Jurgen Habermas, Jacques Ranciere,
Albert Camus, dan Emmanuel Levinas. Keempat tokoh ini adalah pemikir-pemikir
orisinil yang punya konsep masing-masing tentang etika politik . Sudut pandang,
bangunan logika, dan gaya penuturan mereka sangat khas. Dalam pemikiran keempat
tokoh ini tentang etika politik yang diwadahi oleh tulisan-tulisan di buku ini
membuat kita harus memikirkan kembali makna politik itu sendiri.
Etika
Diskursus
Etika
Habermas dikenal dengan nama ‘etika diskursus‘ yang dikembangkannya di tahun
80-an, namun di tahun 90-an dia menerapkan etika diskursus itu dalam politik
menjadi teori diskursus. Baik dalam etika diskursus maupun teori diskursus
Habermas melanjutkan strategi perubahan dari paradigma filsafat subyek ke
paradigma intersubyektivitas dengan melontarkan kritiknya atas filsafat praktis
Kant.
Untuk
memahami apa itu etika diskursus, kita perlu memahami lebih dahulu apa itu
diskursus praktis. Kehidupan bersama di dalam sebuah masyarakat membentuk suatu
tatanan sosial, jika para anggota masyarakat ini mematuhi norma-norma tertentu
yang mengatur prilaku mereka. Tujuan diskursus praktis adalah pemahaman
timbal-balik atas norma-norma tindakan yang dipatuhi bersama. Hanya konsensus
yang diterima oleh semua peserta secara intersubyektif dan tanpa paksaan dapat
dianggap rasional. Prasyarat-prasyarat komunikasi manakah yang harus dipenuhi
untuk memperoleh sebuah konsensus rasional yang diterima umum? Jawaban
Habermas, diskursus seharusnya bersifat inklusif, egaliter dan bebas-dominasi.
Pemikiran
Habermas dengan etika diskursus dan konsep rasio prosedural dapat ditafsirkan
sebagai usaha untuk menemukan syrat-syarat dan prosedur menjalankan kehidupan
bersama. Dengan konsep itu Habermas tak hendak menentukan “politik yang
memadai” atau subtansi dari politik, melainkan mengoperasionalkan relasi
“ikut-mengambil-peranan”. Pada intinya pemikiran Habermas sejalan dengan
pengertian politik sebagai relasi “ikut-mengambil-peranan” dalam kehidupan
bersama, dalam kerangka pikir Habermas, keputusan-keputusan subyek politik
secara subtansial tidak ditentukan oleh hal-hal diluar hubungan politik,
melainkan ditentukan di dalamnya.
Etika
Kesetaraan Radikal
Etika
Kesetaraan Radikal adalah etika politik yang digagas Jacques Ranciere, Ranciere
memandang politik sebagai sesuatu yang harus didefinisikan tersendiri, tak
terpredikasi oleh yang lain, juga oleh kekuasaan. Baginya politik bukan usaha
untuk mempertahankan kekuasaan atau pertarungan antara pihak-pihak untuk
memperoleh kekuasaan sebesar-besarnya. Politik harus dipahami sebagai mode dari
penempatan tindakan ke dalam praktik oleh subyek khusus dan diturunkan dari
bentuk nalar tertentu. Politik memanggil orang untuk menjadi subyek,
memunculkan dan menampilkan subyektivitasnya. Bukan seseorang atau sekelompok
orang yang menentukan poltik.
Bagi
Ranciere, mengenali politik sebagai usaha mempertahankan, memperjuangkan, atau
memiliki kekuasaan berarti menjauhi politik, dan bagi Ranciere segala sesuatu
mengenai politik terkandung dalam hubungan khusus antara orang-orang yang ada
didalamnya, yaitu “ikut-mengambil-peranan” (part-taking /avoir part)
dalam kehidupan bersama. Hubungan “ikut-mengambil-peranan” ini merupakan inti
dari makna dan syarat bagi kemungkinan yang dikandung politik. Hubungan
“ikut-mengambil-peranan” ini diturunkan dari aksioma kesetaraan, bahwa manusia
setara dan kesteraanya adalah setiap manusia mampu berpikir. Kebersamaan yang
terdiri dari individu-individu yang setara harus diatur oleh kebersamaan itu
sendiri, bebas dari rezim-rezim di luar kebersamaan itu.
Etika
Menghadapi Absurditas
Etika
politik Albert Camus yaitu etika menghadapi absurditas, Cara Camus menjelaskan
mengenai absurditas (sesuatu yang tanpa alasan dan tanpa tujuan, namun ia hadir
begitu saja) melanjutkan intuisi nietzschean tentang realitas mentah dunia ini
yang mesti kita terima apa adanya tanpa lari mencari-cari “pegangan” (dalam
bentuk ide ide fixed entah itu Tuhan atau being itself).
Etika politik albert camus ini bisa kita temukan dalam karyanya yaitu roman
Albert Camus berjudul La peste (Sampar) berkisah tentang peristiwa luar
biasa yang menghantam penduduk kota Oran. Lewat kisah ini, Camus menggambarkan
macam-macam sikap manusia di depan wabah sampar.
Politik
dalam presfektif Camus sepertinya bisa dipahami sebagai ikhtiar bersama-sama
melawan “Yang Bathil” dan bertempur di sisi korban tanpa berharap akan
kemenangan absolut. Meski perlawanan dan pemberontakan yang diserukan Camus
pada dasarnya ia memandang keberadaan manusia lain sebagai hal yang positif dan
secara tersirat ia memandang bahwa kehidupan bersama adalah ajang keterlibatan
kongkret untuk membela para korban membela manusia lain meskipun tujuan akhir
itu tidak ada. Baginya yang penting itu adalah bertindak dan bertanggungjawab
atas penderitaan yang ada di dunia itulah cara manusia mengisi hidup.
Dari
sini kita bisa menemukan implikasi lebih jauh dalam konteks politik yaitu
politik dalam kerangka pikir Camus juga adalah relasi “ikut-mengambil-peranan”.
Politik tidak ditentukan dari luar kehidupan bersama tidak didasari oleh konsep
“politik yang memadai”, juga tidak oleh nilai-nilai selain keberhagaan manusia.
Politik adalah usaha kongkret untuk mencegah agar tidak jatuh korban lebih
banyak lagi usaha itu dilakukan di tataran yang mungkin dilakukan tanpa
pretensi kemenangan absolut.
Etika
dan Signifikasi Transenden Wajah Manusia
Etika
dan Signifikasi Transenden Wajah Manusia, itulah tema etika politik yang
diusung oleh Emmanuel Levinas, bagi Levinas pertemuan antar wajah atau relasi
etis inilah yang menjadi dasar etika politiknya, khususnya lewat konsep
“keadilan” dan “pihak ketiga”. Dalam pemikiran Levinas, wajah merupakan
pemaknaan tanpa konteks karena hanya dengan wajah itu saja kita dapat memperoleh
maknanya. Bagi Levinas, etika bukanlah pertama-tama aturan-aturan moral atau
prinsip-prinsip hidup yang baik sebagaimana sering kita temukan dalam sejarah
filsafat Barat.
Makna
konsep ‘keadilan’ dalam etika politik Levinas, yakni bahwa keadilan merupakan
pengakuan terhadap sebuah realitas plural, yakni komunitas politik, dan usaha
memperjuangkannya merupakan ungkapan penghargaan dan tanggung jawab terhadap
setiap anggota komunitas ini. Dalam konteks pengabdian terhadap keadilan inilah
eksistensi negara dapat dibenarkan. Negara diperlukan agar keadilan dapat
dicapai. Oleh karena itu, keadilan sebagaimana dipahami oleh Levinas harus
dilihat bukan sebagai hasil kontrak sosial, melainkan sebagai bentuk tanggung
jawab terhadap semua orang dalam sebuah komunitas politik.
Politik
yang etis bagi Levinas adalah pertemuan manusia dengan manusia lain yang tidak
saling menundukan karena menyadari wajah yang menolak untuk ditundukan. Bagi
Levinas, pertemuan antarwajah adalah relasi etis dan inilah yang menjadi dasar
etika politiknya, khususnya lewat konsep “keadilan” dan “pihak ketiga”.
Kehidupan bersama yang dibangun dengan relasi “ikut-mengambil-peranan”, dalam
kerangka pikir Levinas, dapat kita pahami sebagai hubungan antar wajah dan
dengan demikian merupakan manisfestasi tiba-tiba atas esensi atau makna
realitas kehidupan bersama, yakni tanggungjawab terhadap “yang lain” dalam
pluralitas.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
0 komentar:
Posting Komentar