Memperjuangkan
Eksistensi Otentik;
Panggilan Menjadi Diri Sendiri
Who Am I ....??? |
Setiap orang dalam relung hatinya
yang terdalam pasti pernah mengalami berbagai pergulatan mengenai hidupnya;
cintanya, pekerjaanya, keluarganya, aspirasinya atau cita-citanya, dan
sebagainya. Pergolakan pribadi dapat dengan mudah membuat orang memusatkan perhatian pada
gejolak-gejolak hatinya, harapan dan kekecewaanya, dan apa yang harus
dilakukanya dalam waktu dekat demi masa depan. Ruang batinnya menjadi ajang
pertempuran berbagai gagasan dan pertimbangan yang tidak jarang sangat mendera
hati. Hidup adalah sebuah rangkaian pilihan, membuat keputusan dan
menjalankanya adalah suatu kiniscayaan yang tak bisa ditolak oleh manusia,
namun apa yang orang butuhkan adalah memberi makna pada dirinya dengan setiap
pilihan yang dia buat, seseorang harus hidup tanpa membohongi dirinya sendiri.
untuk hidup seseorang harus memilih dan mengambil konsekuensinya.
Di era Reformasi ini, kita sebagai
bangsa Indonesia merasa bangga bahwa diri kita bukan subyek kewenangan apa pun
dari luar, bahwa kita bebas mengungkap gagasan dan perasaan kita, dan kita
anggap kemerdekaan ini merupakan garansi yang nyaris otomatis bagi
individualitas kita sebagai manusia. Kebebasan mengungkap pendapat dimuka
umum pun mendapat jaminanya dalam
undang-undang. Namun hak untuk mengutarakan pikiran, betapapun juga akan ada
artinya bila kita mampu memilki pikiran sendiri; kebebasan dari kewenangan luar
hanya bisa bermakna jika kondisi-kondisi kejiwaan kita yang terdalam memiliki
wajah tertentu hingga kita dapat menetapkan individualitas kita sendiri.
Sudahkan kita gapai sasaran itu, atau setidak-tidaknya sudahkah kita mendekati
sasaran itu? Atau kita hanya menjadi konsumen dari opini arus besar yang
diproduksi oleh kelas yang berkuasa?
Diera Industri ini, budaya
konsumerisme hampir tak bisa lagi kita bendung, kita disuguhkan budaya-budaya
yang sebenarnya sangat asing bagi bangsa kita. kondisi-kondisi ekonomis telah
meningkatkan keterkecualian dan ketidakberdayaan individu di zaman kita ini;
ketidakberdayaan, pada giliranya, memunculkan hasrat untuk melarikan diri, atau
bila tidak, membawa kita pada kompromi pada arus besar baik secara pemikiran,
budaya dan lain-lain, yang sebenarnya dipaksakan, di mana individu yang
terkucil menjadi automaton[2]
– mahluk hidup yang bergerak dan berpikir serupa mesin, serba otomatis –
individu kehilangan hakikat dirinya sendiri, namun secara sadar ia anggap
dirinya bebas dan hanya tunduk pada dirinya sendiri, alias terbenam dalam
khayal tentang kejayaan individualitas yang utopis.
Disinilah manusia mengalami
kegagalan bereksistensi dan kehilangan otensitas dirinya sebagai manusia. Apa
yang ‘asli’ atau ‘orisinal’ di sini bukan berarti belum pernah dipikirkan atau
dirasakan oleh orang lain, melainkan pada individu yang bersangkutan, merupakan
hasil kegiatanya sendiri, dan dalam arti semacam itu menjadi pikiranya sendiri.
Lenyapnya jati diri menjadikan penyesuaian jadi tak terelakan; artinya, orang
hanya bisa yakin akan dirinya sendiri bila ia mencocokan diri dengan harapan
orang lain, Bila kita abaikan ini, bukan hanya ketidaksetujuan orang lain dan
keterpencilan yang kita sedang alami kita pun pasti menghadapi risiko
kehilangan jatidiri kepribadian kita, yang sama maknanya dengan mempertaruhkan
kewarasan kita.
Pencarian eksistensi manusia yang
otentik telah dilakukan secara intens oleh kaum eksistensialis sejak
kemunculanya yang pertama kali, dua abad yang lalu, diantaranya yaitu Søren
Aabye Kierkegaard (1813-1855) dan Jean Paul Sartre (1905-1980), mereka sangat
menekankan aspek individu dalam filsafatnya. Pemikiran mereka juga menjadi
cikal bakal lahirnya aliran psikologi eksistensialis, Dalam tulisan ini saya akan
membahas proses menjadi diri sendiri dan menjadi manusia yang otentik menurut
pemikiran kedua filsuf tersebut.
Dalam tesisnya yang ke XI mengenai
Feuerbach Karl Marx mengatakan, “Para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan
cara yang berbeda-beda; padahal, yang penting adalah mengubahnya.”[3]
Yang harus diubah menurut Marx, adalah realitas sosial, khususnya
struktur-struktur politik dan ekonomi yang membuat manusia terasing dari
dirinya sendiri. Tesis marx ini dapat diubah menjadi tesis Kierkegaard hanya
denagan memberi referensi dan makna baru pada obyek ’nya’ dalam kata
‘mengubahnya’.
Yang harus diubah, menurut Kierkegaard,
bukanlah realiatas sosial (yang berada di luar diri manusia), melainkan diri
sendiri (oneself). Orang tidak perlu terburu-buru ingin mengubah
realitas sosial lingkungan hidupnya, melainkan harus mencari jati dirinya terlebih
dahulu. Barangkali diri kitalah bagian dari persoalan itu, atau jangan-jangan
justru kitalah bagian dari realitas sosial yang harus diubah! Maka dalam hal
ini refleksi diri dan proses pencarian untuk menjadi diri sendiri menjadi
sangat penting[4].
Gagasan pokok Kierkegaard yakni mengenai
manusia dan perjuangannya mencari jati diri. Keberadaan manusia di dunia ini
selalu ditantang untuk memilih dan mengambil keputusan. Melalui keputusan yang
diambil dan komitmen yang diberikan atas keputusan itu, orang menjadi dirinya
sendiri. Uraian Kiekergaard menyadarkan kita bahwa menjadi otentik (asli),
menjadi diri sendiri atau dalam bahasa psikologinya integral, merupakan proses
yang sangat penting. Keselarasan antara apa yang diyakini dengan apa yang
dihayati sehari-hari dalam tindakan, sangat jarang ditemui pada zaman ini.
Membuat keputusan yang baik dan
menjalankannya sering tidak mudah. Namun, justru di situlah keaslian kita
sebagai manusia diuji. Pemikiran Kierkegaard mengajak Anda berefleksi tentang
keaslian itu. Membuat pilihan dan mengambil keputusan bukan hal yang mudah.
Keharusan untuk memilih dan memutuskan persoalan, apalagi yang berat dan sulit,
sering mengundang penderitaan. Ketidaklengkapan informasi kerap membuat manusia
merasa cemas. Jangan-jangan ia salah pilih, terlebih bila pilihan itu bukan
antara yang baik dan jahat, melainkan antara dua hal baik.
Bagi Sartre, hakikat manusia adalah
hidup untuk diri sendiri. Manusia ada pertama kali sebagai benda, namun kemudian
menjadi manusia ketika ia secara bebas memilih moralitas yang diinginkanya.
Dengan kebebasan untuk menentukan menjadi manusia seperti ini atau itu, dengan
kebebasan memilih benda-benda maupun nilai-nilai untuk dirinya sendiri, ia akan
membentuk “hakikat” nya sendiri. Dalam bahasa Sartre, Manusia bukanlah sesuatu
yang lain kecuali bahwa ia menciptakan dirinya sendiri.
Manusia sepenuhnya milik dirinya
sendiri, sehingga ia harus memutuskan sendiri pula dan harus memilih sendiri
bebas. “We are condemned to be free”, kata Sartre. Ungkapan Sartre ini
sebenarnya paradoksial sebab condemned (dihukum) berlawanan dengan free
(bebas). Walaupun begitu, apabila kita mau merenung jauh, benar juga kata
Sartre. Kita tidak bebas untuk bertindak bebas. Maksudnya, kebebasan merupakan nasib
kita yang tak terhindarkan. Merdeka, sebab kita manusia.
Bagi Sartre, orang lain boleh
menasehati, mereka boleh menunjukan bagaimana cara terbaik untuk menjalani
hidup, namun tidak satupun dari mereka
bisa menunjukkan kekuasaanya. Setiap orang menjadi juri tertinggi moralitas, setiap
orang adalah penemu nilai. Keren, kan? Sartre memusatkan eksistensi pada
tindakan manusia. Beberapa tanya jawab berikut bisa menggambarkan pemikiran
Sartre.
Apa yang dimaksud dengan tindakan
sendiri?
Dalam satu kata, “Pilihan”, ujar
Sartre
Apa yang dimaksud pilihan?
Sartre menjawab, “sesuatu yang
menyebabkan kita bertanggungjawab”.
Beratnggungjawab kepada siapa?
“Bertanggungjawab kepada diri sendiri” jawab Sartre[5]
Jawaban terakhirnya mendapatkan
kritikan dari kalangan agamawan, karena secara tersirat Sartre menganggap
dirinya Tuhan.Walau bagaimanapun, kita juga harus berterimakasih terhadap Kierkegaard
dan Sartre karena mereka menekankan arti tanggungjawab dalam menjalani
kehidupan yang absurd ini. Kedua-duanya adalah filsuf eksistensialisme. Mereka
mengajari kita bagaimana hidup sebagaimana diri kita sebenarnya. Kita selalu
memilih dalam menjalani hidup, lalu kita harus berkomitmen, kita bertanggung
jawab atas segala konsekuensi atas pilihan itu. Secara garis besar Kierkegaard
dan Sartre mengajari tema yang sama yaitu proses memperjuangkan eksistensi
manusia yang otentik.
[1] Penulis adalah
mahasiswa psikologi UIN Sunan Gunung Djati angkatan 2008, penulis pernah aktif
sebagai Sekretaris Umum SMF Psikologi Periode 2010-2011, penulis juga aktivis
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Kota Bandung
[2] Erich Fromm,
“Mendidik Si Automaton”, dalam Menggugat Pendidikan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, Hlm. 343-344
[3] Karl Marx,
“Theses on Feuerbach,” dalam Karl Marx and Fredeich Engels, selected works,
vol. 2 (Moscow; Foreign Languages Publishing House, 1962) Hlm.405.
[4] Hidya Tjaya,
Thomas, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia), 2004. Hlm.153-154.
[5] Fauz Noor,
Tapak Sabda, Yogyakarta, Pustaka Sastra LKIS, 2004. Hlm 406-412