Photobucket Photobucket Photobucket

Ngeblues

Ngeblues

Pirates

Pirates

FRUSTRASI DAN REVOLUSI :

Selasa, 22 Februari 2011

Buah kebijakan mengabaikan psikologi rakyat
Oleh : Taufik Nurrohim[1]
Hampir sebelas tahun era reformasi kita lalui, tapi geliat ekonomi masih biasa-biasa saja. Sudah lima presiden kita pilih, bahkan yang terakhir adalah presiden yang menang dalam pemilu dua kali berturut-turut, tapi kesejahteraan dan keadilan sosial tetap, saja menjadi barang langka. Usaha pemulihan stabilitas ekonomi dan politik pun dilakukan. Kemudian, atas nama keseimbangan ekonomi makro, macam-macam subsidi dicabut secara bertahap untuk kemudian pasarlah yang akan menentukan harga. Rakyat pun dengan Serta merta merasakan akibatnya. Harga­ harga barang merangkak naik, biaya transport naik berlipat-lipat, sementara penghasilan tidak mengalami kenaikan yang cukup berarti. Pada saat itu rakyat dituntut untuk bersabar dan bersabar. Yang kita lihat, rakyat memang cukup bersabar, tapi sampai kapan kesabaran itu akan bertahan ?
Pertanyaan ini penting karena sepertinya faktor psikologi ini sama sekali tidak menjadi salah satu pertimbangan setiap kali suatu kebijakan ditetapkan. Pertimbangan ekonomi dan politik selalu mengatasi pertimbangan psikologis. Kekecewaan yang berulangkali rakyat alami tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting, bahkan mungkin berbahaya. Kekecewaan rakyat yang semestinya di urusi sedemikian rupa, yang terjadi justru sebaliknya. Kekecewaan yang selama ini dirasakan rakyat, justru diperlebar oleh kebijakan­ kebijakan yang menantang amarah rakyat, atau oleh sikap dan perilaku sebagian elit politik yang jauh dari santun dan sederhana.
Bagaimana tidak memuakkan, di satu sisi pemerintah menjual asset yang dalam jangka panjang akan sangat berharga, sementara disisi lain para koruptor yang mempunyai kontribusi signifikan menyengsarakan bangsa ini justru akan mendapatkan release & discharge. Bagaimana tidak miris, di satu sisi macam-macam subsidi dihilangkan, tapi para elit politik menunjukkan sikap dan perilaku hura-hura. Bagaimana tidak lucu, pemimpin yang sudah tidak dikehendaki oleh rakyat atau pejabat yang jelas-jelas telah melakukan kebohongan publik dibiarkan begitu saja, atau malah diberi kembali jabatan yang sebenarnya untuk orang-orang terhormat.
Sampai saat ini, rakyat benar-benar telah dibuat frustrasi berulang kali. Anehnya, frustrasi inilah yang tidak dipahami, atau dipahami tapi dianggap tidak berarti. Mungkin betul bahwa fondasi ekonomi harus dipersiapkan sedemikian rupa. Beban subsidi yang selama ini mengambil bagian anggaran yang cukup signifikan mungkin memang harus dihilangkan. Akan tetapi, apa manfaatnya jika atas nama keseimbangan ekonomi makro atau kuatnya fondasi perekonomian nasional, membuat rakyat frustrasi, yang pada akhirnya akan mengarahkan pada sikap dan perilaku yang kontra produktif.
Reaksi masyarakat terhadap kekecewaan yang dirasakan mungkin beragam tergantung dari intesitas frustrasi yang dirasakan dan kondisi sosial, ekonomi, serta politik masyarakat tersebut. Pada satu rezim, ada masyarakat yang mencoba mengatasi frustrasi dengan apatisme dan menghindari kontak dengan objek yang diklaim sebagai sumber frustrasi. Kalau sudah demikian, jangan berharap, partisipasi politik yang merupakan caranya proyek demokratisasi akan tampak ke permukaan. Pada rezim yang lain, ada masyarakat yang menunjukkan perilaku agresif kepada objek yang diklaim sebagai sumber frustrasi atau kepada objek yang dianggap tidak mengandung resiko terlalu besar. Berkowitz, mengatakan perilaku agresi apapun selalu bersumber dari frustrasi.
Misalnya saja, sebagian masyarakat menjadi begitu curiga dan sinis terhadap setiap apapun yang berhubungan dengan politik, tidak lagi perduli dan apatis dengan apa-apa yang menimpa bangsa ini, bosan dan jengkel mendengar berita-berita sekitar konfliks antar elit politik, tidak bisa lagi mempercayai kata - kata manis elit politik, menjadi jera untuk meneriakan protes atau sekedar mengingatkan kebijakan pemerintah yang dirasa membebani mereka, atau bahkan tidak menggunakan hak pilihnya ketika masa pemilihan umum nanti tiba. Kita pun menyaksikan bagaimana masyarakat menjadi sangat rentan tersulut untuk terlibat dalam setiap tindak kekerasan. Ada polisi yang dipukuli masa hanya karena diteriaki maling, ada pencuri sepeda motor yang disiksa dan dibakar hidup-hidup, ada aparat berkelahi dengan aparat yang lainnya, ada bom meledak membunuh banyak orang, ada, perkelahian antar kampung, ada aksi tipu-tipu, dan banyak kekerasan karena berbeda paham agama dan seterusnya.
Setiap ada peluang, dimana, identitas diri menjadi kabur, maka pada, saat itu frustrasi sepertinya mendapatkan jalan untuk muncul dalam beragam bentuk kekerasan. Jika sedikit menengok ke belakang, kita akan teringat peristiwa mengerikan, Mei 1998. Banyak orang meninggal bukan sebagai pahlawan, melainkan sebagai penjarah. Ada wanita-wanita diperkosa bukan karena libido seksual tak terkendali, melainkan karena, sinisme dan prasangka. Gedung-gedung dibakar dengan api kemarahan massa yang spontan dan tidak tertahankan. Peristiwa itu tentu sangat luar biasa, dan seharusnya menjadi pelajaran bagi siapapun, bahwa frustrasi yang berkepanjangan selalu berakhir dengan. petaka.
Peristiwa Mei 1998 bukan tanpa sebab. Peristiwa tersebut merupakah buah dari kekecewaan sistematis masyarakat yang diciptakan oleh rejim suharto. Kekecewaan tersebut terakumulasi sampai memenuhi batas kesabaran, dan ketika situasi krisis ekonomi berada di hadapan mata serta segala sesuatunya memungkinkan, maka kekecewaan itu meledak dengan membabi buta.
Seharusnya keadaan ini menjadi cermin bagi pemerintahan manapun. Bahwa frustrasi rakyat bukan perkara sepele. Psikologi rakyat jangan sampai dikorbankan demi perhitungan-perhitungan ekonomis, atau agenda politis tertentu. Apapun alasannya, rakyat jangan dikondisikan sedemikian rupa sehingga terpenjara dalam frustrasi. Jika frustrasi itu membesar dan meluas, bersamaan dengan itu tersedia faktor pemicu dan situasi serta kondisinya memungkinkan, bukan tidak mungkin peristiwa Mei 1998 akan terulang kembali tentunya dengan skala lebih besar, dan itu adalah revolusi.

[1] Penulis adalah mahasiswa Psikologi UIN SGD angkatan 2008 dan Aktivis PMII Komisariat UIN SGD Cabang Kota Bandung


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

Posting Komentar