Photobucket Photobucket Photobucket

Ngeblues

Ngeblues

Pirates

Pirates

POSITIVISME AUGUST COMTE

Minggu, 20 Februari 2011

PENDAHULUAN
Semenjak abad ke 17 rasionalisme Rene Descartes mencapai posisi penting dalam keilmuan manusia, pemikirannya bahwa akalbudi yang dapat mencapai pengetahuan. Lalu empirisisme yang datang setelahnya oleh David Hume yang mana pengetahuan kita hanya bersumber dari pengalaman dan hanya terbatas pada dunia cerapan indra saja.[1] Selanjutnya pada abad ke 19 muncullah positivisme oleh August Comte yang mana ia sebagai kelanjutan dari empirisme tapi dalam bentuk yang lain yang lebih objektif.
RIWAYAT HIDUP COMTE
August Comte dilahirkan pada 1798 di Montpellier, Prancis. Pada umur belasan tahun ia menolak beberapa adat kebiasan dari keluarganya yang katholik orthodox, yaitu kesalehan dalam agama dan dukungan terhadap bangsawan. Ia belajar disekolah politeknik di Paris dan menerima pelajaran ilmu pasti. Sesudah menyelesaikan sekolahnya ia mempelajari biologi dan sejarah, dan mencari nafkah dengan memberikan les matematika. Comte bekerja sama dengan Saint Simon untuk beberapa tahun, tetapi kemudian berselisih faham dan Comte bekerja secara mandiri. Comte berusaha untuk memperoleh gelar professor tetapi tidak berhasil.[2]
PENGERTIAN POSITIVISME
Positivisme diturunkan dari kata positif, filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang factual, yang positif. Positivism hanya membatasi diri pada apa yang tampak, segala gejala. Dengan demikian positivisme mengesampingkan metafisika karena metafisika bukan sesuatu yang real, yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan tidak dapat dibuktikan.
Positivisme merupakan bentuk lain dari empirisme, yang mana keduanya mengedepankan pengalaman. Yang menjadi perbedaan antara keduanya adalah bahwa positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, tetapi empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman yang bersifat batiniah atau pengalaman-pengalaman subjektif.[3]
TAHAP-TAHAP PEMIKIRAN MANUSIA
Menurut Comte perkembangan pemikiran manusia terdiri atas tiga Tahap yaitu Tahap Teologik, lalu meningkat ketahap metafisik, kemudian mencapai tahap akhir yaitu tahap positif.[4]
1. TAHAP TEOLOGIK
Tahap teologik bersifat antropomorfik atau melekatkan manusia kepada selain manusia seperti alam atau apa yang ada dibaliknya. Pada zaman ini atau tahap ini seseorang mengarahkan rohnya pada hakikat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama, dan tujuan terahir segala sesuatu. Menurutnya benda-benda pada zaman ini merupakan ungkapan dari supernaturalisme, bermula dari fetish yaitu suatu faham yang mempercayai adanya kekuatan magis dibenda-benda tertentu, ini adalah tahap teologis yang palin primitif. kemudian polyteisme atau mempercayai pada banyak Tuhan, saat itu orang menurunkan hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati, yang melatar belakanginya, sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya sendiri. Dan kemudian menjadi monoteisme ini adalah suatu tahap tertinggi yang mana saat itu manusia menyatukan Tuhan-Tuhannya menjadi satu tokoh tertinggi. Ini adalah abad monarkhi dan kekuasaan mutlak. Ini menurutnya adalah abad kekanak-kanakan.[5]
2. TAHAP METAFISIK
Tahap metafisik sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja dari zaman teologik, karena ketika zaman teologik manusia hanya mempercayai suatu doktrin tanpa mempertanyakannya, hanya doktrin yang dipercayai. Dan ketika manusia mencapai tahap metafisika ia mulai mempertanyaan dan mencoba mencari bukti-bukti yang meyakinkannya tentang sesuatu dibalik fisik. Tahap metafisik menggantikan kekuatan-kekuatan abstrak atau entitas-entitas dengan manusia. Ini adalah abad nasionalisme dan kedaulatan umum, atau abad remaja.[6]
3. TAHAP POSITIF
Tahap positif berusaha untuk menemukan hubungan seragam dalam gejala. Pada zaman ini seseorang tahu bahwa tiada gunanya untuk mempertanyakan atau pengetahuan yang mutlak, baik secara teologis ataupun secara metafisika. Orang tidak mau lagi menemukan asal muasal dan tujuan akhir alam semesta, atau melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu dan dibalik sesuatu. Pada zaman ini orang berusaha untuk menemukan hukum segala sesuatu dari berbagi eksperimen yang akhirnya menghasilan fakta-fakta ilmiah, terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan. Pada zaman ini menerangkan berarti: fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Segala gejala telah dapat disusun dari suatu fakta yang umum saja.[7]
3 zaman atau 3 tahap ini menurut Comte bukanlah suatu zaman yang berlaku bagi perkembangan rohani manusia tetapi juga berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, bahkan berlaku bagi perorangan, ketika muda ia seorang metafisikus dan ketika dewasa ia menjadi seorang fisikus. Ketika seorang masih perpandangan metafisikus ataupun teologis berarti ia masih berfikiran primitif walaupun ia hidup dizaman yang modern. Dan ketika orang berfikiran fisikus maka ia adalah seorang yang modern dimana pun ia berada. Pendapat ini didasarkan pada kecendrungan pernyataannya yang lebih menjurus kepada tahap dalam keyakinan manusia dari pada tahap zaman manusia.
Selain itu tahap dalam 3 zaman ini bukan hanya berlaku dalam hal itu saja tetapi juga bias terjadi dalam ilmu pengetahuan itu sendiri. Yang asal mulanya ketika ilmu pengetahuan masih dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikeruhkan oleh pemikiran-pemikiran metafisis hingga akhirnya tiba pada zaman positif yang cerah yang mana meninggalkan bahkan melepaskan dari keberadaan unsur-unsur teologis dan metafisika. Oleh karena itu baginya Teologi dan filsafat barat abad tengah merupakan pemikiran primitive. Karena masih pada taraf pertanyaan tentang teologi dan metafisis.[8]
Baginya manusia tidak dapat mengetahui hakikat dari segala sesuatu, tetapi manusia dapat mengetahui keadaan-keadaan yang mempengaruhi terjadinya peristiwa.
Pengetahuan positivisme mengandung arti sebagai pengetahuan yang nyata (real), berguna (useful), tertentu (certain) dan pasti (extact). Kaidah kaidah alam tidak pernah disederhanakan menjadi satu kaidah tunggal dan kaidah itu terdiri dari perbedaan-perbedaan.[9]
Akal dan ilmu menurutnya harus saling dihubungkan karena ilmu yang menurutnya cerapan dari sesuatu yang positif tetaplah harus memakai akal dalam pembandingannya, dan etika dianggap tinggi dalam hirarki ilmu-ilmu.[10]
PEMBAGIAN ILMU PENGETAHUAN BERDASARKAN GEJALA-GEJALA
Comte membagi ilmu pengetahuan berdasarkan gejala-gejala dan penampakan-penampakan, yang mana ilmu pengetahuan harus disesuaikan oleh itu semua. Segala gejala yang dapat diamati hanya akan dapat dikelompokan dalam beberapa pengertian saja. Pengelompokkan itu dapat dilakukan sedemikian rupa sehingga penelitian tiap kelompok menjadi dasar bagi penelitian kelompok berikutnya. Sehingga terjadilah dikotomi ilmu pengetahuan yang mana asal mualanya adalah satu. Lalu terjadi dikotomi dari ilmu pengetahuan itu berdasarkan gejala yang diamati lalu muncullah kelompok peneliti lain yang memungkinkan dikotomi yang lain hingga mencapai gejala yang paling sederhana. Gejala yang sederhana ini adalah gejala yang tidak memiliki kekhususan hal-hal yang individual.
Comte membagi-bagikan segala gejala yang pertama-tama dalam dua hal yaitu gejala yang bersifat organis dan yang tidak bersifat anorganis. Yang dimaksud dengan sifat organis adalah segala hal yang bersifat makhluk hidup. Dan sifat anorganik adalah yang tidak bersifat hidup. Menurutnya dalam mempelajari yang organis harus terlebih dahulu mempelajari hal-hal yang bersifat anorganis, karena dalam makhluk hidup terdapat hal-hal yang kimiawi dan mekanis dari alam yang anorganis, contoh: manusia yang makan, yang mana didalamnya terdapat proses kimiawi dari sesuatu yang anorganis yaitu makanan.
Ajaran tentang segala sesuatu yang anorganis dibagi menjadi dua hal yaitu tentang astronomi, yang mempelajari segala gejala umum yang ada dijagat raya dan tentang fisika serta kimia yang mempelajari segala gejala umum yang terjadi dibumi. Menurutnya, pengetahuan tentang fisika harus didahulukan, sebab proses-proses kimiawi lebih rumit dibanding dengan proses alamiah dan tergantung daripada proses alamiah.[11]
Dan ajarannya tentang yang organis juga dibagi menjadi dua bagian yaitu: proses-proses yang berlangsung dalam individu-individu dan proses-proses yang berlangsung dalam jenisnya yang lebih rumit. Ilmu yang diusahakan disini adalah ilmu biologi, yang menyelidiki proses dalam individu. Kemudian muncul sosiologi yang menyelidiki gejala-gejala dalam hidup kemasyarakatannya dan ilmu social baru harus dibentuk atas dasar pengamatan dan pengalaman (pengetahuan positif)
Demikianlah sosiologi yang menurutnya menjadi puncak bangunan ilmu pengetahuan. Akan tetapi ilmu ini baru dapat berkembang jika segala sesuatu telah mencapai kedewasaanya.
KEDUDUKAN ILMU PASTI DAN PSIKOLOGI
Lalu bagaimana dengan kedudukan ilmu pasti yang mana ilmu pasti bukan sebagai sesuatu yang bersifat empiris, dan bagaimana dengan psikologi yang berarti mempelajari jiwa manusia, diri sendiri ataupun orang lain.
Menurut Comte ilmu pasti merupakan dasar dari filsafat karena ia memiliki dalil-dalil yang bersifat umum dan paling abstrak, dalam hal ini ia setuju dengan Descartes dan Newton. Dan menurutnya pula bahwa ilmu pasti adalah ilmu yang paling bebas.
Sedangkan psiologi tidak diberi ruang dalam system comte. Hal ini sesuai dengan pendapatnya bahwa manusia tidak akan pernah menyelidiki diri sendiri. Tetapi orang masih dapat menyelidiki nafsu-nafsunya karena menurutnya nafsu-nafsu itu terpisah dari manusia.[12]
MASYARAKAT MENURUT COMTE
Masyarakat menurutnya harus menjadi masyarakat yang alturistis yaitu masyarakat yang berpandangan bahwa kewajiban mulak bagi manusia adalah memberikan pengabdian dan rasa cinta terhadap orang lain.[13] Humanitas atau kemanusiaan adalah "Tuhan" bagi positivism dan objek bagi pemujaan. Itu semuanya terjadi melihat dari Tujuan filsafatnya yaitu reformasi masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan suatu ilmu social positif dan terus memikirkan hal sepanjang hidupnya.
Dan untuk menjadi masyarakat yang alturistis maka masyarakat dapat melalui 3 tahap:
a. Militarism (tatanan, disiplin, kekuatan). Organisasi adalah syarat utama bagi kemajuan, karena dengan militer terdapat sikap yang teratur, dan keteraturan itu menjadi kekuatan tersendiri sehingga masyarakat tersebut dapat menjadi kuat. Tetapi dalam tahap ini masyarakat masih belum sadar akan alturisme.
b. Hak-hak politisi. Suatu periode transisi atau peralihan dari negasi yang ada didalam militarism. Didalamnya terdapat penyadaran-penyadaran yang terjadi dari penolakan suatu masyarakat alturistis
c. Tahap positif (industrialisme). Pada tahap ini masyarakat lebih menekankan pada masalah-masalah social dari pada politis.[14]
Dua fase filsafat positifistik
dua fase filsafat positifistik dalam masyarakat dua fase, yang pertama adalah statika social dan yang selanjutnya adalah dinamika social. Menurutnya Statika Sosial adalah masyarakat sebagai kenyataan dengan kaidah-kaidah yang menyusun tatanan social. Ini adalah saat dimana masyarakat mulai tersusun atau terbangun.
Fase selanjutnya adalah Dinamika social yang artinya masyarakat pada saat itu berada dalam penciptaan sejarahnya dan mulai menanjak dalam kemajuannya. Dan ini adalah fase terakhir menurut filsafat positfistik.[15]
Tekanan pada kehidupan Emosional dan Praktis
Comte menekankan kehidupan kepada hal yang bersifat emosional yang penuh perasaan dalam hal ini untuk dapat menciptakan suatu masyarakat yang bersifat alturistik. Dan ia juga menekankan pada kehidupan yang bersifat praktis jelas nyata dan mudah, ini adalah sambungan dari filsafat positifnya, jika ilmu pengetahuan haruslah terbukti real dan nyata, maka kehidupan haruslah kehidupan yang jelas, nyata, real dan mudah.[16]
TINGKATAN AGAMA MENURUT COMTE
Comte telah menciptakan suatu kristianitas yang baru berdasarkan dirinya sendiri. Ia membagi kedalam 3 agama:
1. Agama yang pertama adalah penghormatan atas alam. Semua adalah Tuhan
2. Agama yang kedua adalah penyembahan terhadap kaidah moral sebagai kekuasaan.
3. Agama yang ketiga adalah kekuasaan yang tidak terbatas yang terungkap dalam alam yang merupakan sumber dan akhir dari cita moral. Moralitas adalah hakikat dari benda-benda.[17]
KESIMPULAN
Positivism Comte merupakan sebuah filsafat untuk mencapai suatu ilmu pengetahuan. Yang mana ilmu pengetahuan itu merupakan hasil dari pengalaman yang berasal dari gejala-gejala. Segala hal yang tidak termasuk dalam hal-hal yang positif tidak dapat disandarkan sebagai ilmu pengetahuan, dan tidak bisa diterima, seperti metafisika dan segala kepercayaan religious.
Cita-cita Comte yaitu membuat suatu masyarakat yang sesuai dengan filsafatnya yaitu masyarakat yang berpegangan pada hal-hal yang positif, sehingga masyarakat tersebut akan berpegang teguh pada ilmu pengetahuan sehingga dapat meningkatkan dunia material dari masyarakat. tanpa ada unsur religious ataupun unsur metafisik, yang mana tidak percaya akan ada yang supranatural dibalik yang nyata. Comte mengganti masyarakat yang bersifat religious menjadi masyarakat yang berpegang teguh pada kemanusian dan kemajuan social.[18]
Reverensi
- Apartanto. Pius, al barry. m. Dahalan, kamus ilmiah popular, penerbit arola Surabaya, 1994
- Mudhofir. Ali, kamus filsafat barat, pustaka pelajar, cet ke: 1, Yogyakarta, 2001
- Hadiwijono. Dr. Harun, sari sejarah filsafat barat 2,penerbit kanisus (anggota ikapi) cet, ke: 11
- Muslih. Mohammad, filsafat ilmu,kajian atas dasar paradigm dan ilmu pengetahuan, pen: belukar, cet: 3, 2006, Yogyakarta
- Titus.H. Harlod, Smith.S. Marlyn, Nolan. T. Richard, persoalan-persoalan filsafat alih bahasa: prof Dr. H.M rasyidi, PT bulan bintang. Jakarta, 1984.,


[1] Pius Apartanto, m. Dahalan al barry, kamus ilmiah popular, penerbit arola Surabaya, 1994, hal: 653 & 149
[2]Ali mudhofir, kamus filsafat barat, pustaka pelajar, cet ke: 1, Yogyakarta, 2001 hal: 101
[3]Dr. Harun Hadiwijono, sari sejarah filsafat barat 2,penerbit kanisus (anggota ikapi) cet, ke: 11 ,th: 2004 Yogyakarta,hal:109-110
[4]Mohammad Muslih, filsafat ilmu,kajian atas dasar paradigm dan ilmu pengetahuan, pen: belukar, cet: 3, 2006, Yogyakarta, hal: 91
[5] Ibid: 110
[6] Ibid: 111
[7] Ibid: 111
[8] Ibid: 111
[9]Ali mudhofir, kamus filsafat barat, hal :103
[10] Ibid: 103
[11]Dr. Harun Hadiwijono, sari sejarah filsafat barat , hal: 111-112
[12]Ibid: 112-113
[13] Pius Apartanto, m. Dahalan al barry, kamus ilmiah popular, hal: 24
[14] Ali mudhofir, kamus filsafat barat, hal: 104
[15] Ibid: 103-104
[16] Ibid: 104
[17] Ibid: 104
[18] Harlod H. Titus, Marlyn S. Smith, Richard T. Nolan, persoalan-persoalan filsafat alih bahasa: prof Dr. H.M rasyidi, PT bulan bintang. Jakarta, 1984., hal: 365


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

2 komentar:

Mohamad Imron Rosadi mengatakan...

Filsafat itu tidak pernah lepas dr konteks sejarah., apa dampak yang terhadi setelah lahirnya positifisme?

Unknown mengatakan...

filsafat yg hanya dgn akal sja tnpa didasari dgn kyakinan iman di HAti....weleeeeeh...

Posting Komentar